Akhir bulan lalu gue sempet ikut training tentang teknologi virtualisasi yang menjadi cikal bakal teknologi cloud computing. Produk yang digunakan adalah VMware vSphere. Sebenernya sejak dulu gue sudah pernah pakai produk besutan VMware lainnya yaitu VMware Workstation buat uji coba efek-efek virus, bagaimana cara membetulkan secara manual akibat virus tersebut, jajal konfigurasi baru sampai nyobain teknologi baru. Pernah gue melakukan simulasi 3 Server dengan 2 client dalam satu network di VMware Workstation. Spek komputer yang gue pakai buat coba konfigurasi tersebut sbb;

1. Proc AMD X4 640 3Ghz

2. RAM 4GB

3. SSD Corsair 60 GB

4. WDC Black 500 GB

Lumayan makan resource juga sih tapi semuanya running well. Tapi sayangnya VMware Workstation tidak didesain untuk digunakan di lingkungan production melainkan hany untuk Workstation (sesuai dengan namanya toh, hehe). Terus kalau teknologi virtualisasi buat lingkungan production pakai produk apa? banyak banget pilihannya. Tapi gue sebut yang common aja ya alias yang gue tahu, haha. Pertama ada produk VMware yaitu vSphere. Produk ini terus mengalami kemajuan pesat dibandingkan kompetitior virtualisasi lainnya karena memang fokus dan didukung dengan sumber daya yang maksimal. Sebelum versi 5 terdapat beberapa variasi dari produk virtualisasi server VMware. Ada yang namanya ESX Server dan ESXi Server. Banyaknya variasi penamaan tentunya bakal membuat kita bingung menentukan sebenarnya mana yang benar-benar cocok untuk kebutuhan kita. Saran gue kalau mau belajar virtualisasi server pakai produk VMware, silahkan gunakan vSphere. Engine dari vSphere adalah ESXi Hypervisor (ini perlu dipahami dengan baik supaya nanti ke depannya tidak bingung). Antara produk free, essential, standar dan enterprise tetap menggunakan engine yang sama. Hanya fitur-fiturnya saja ada yang ditiadakan atau dinon-aktifkan.

Kemudian yang kedua ada juga produk besutan perusahaan raksasa sofware Microsoft, Hyper-V. Produk ini dapat diinstal di atas sistem operasi windows server atau bisa juga diinstall langsung di atas server (bare metal). Namun nama besar tidaklah menjadi jaminan bahwa produk ini laku dipasaran. Kedigdayaan VMware dalam urusan virtualisasi masih terus kokh hingga hari ini.

Dua software virtualisasi server di atas merupakan jenis propietary software yang mengharuskan kita membeli. Namun jika ingin mencoba virtualisasi server versi open source dapat menggunakan Proxmox atau Xen Hypervisor. Kedua virtualisasi tersebut berbasis Linux sehingga kita tidak perlu pusing memikirkan biaya lisensi. Memang jika menggunakan software open source biasanya banyak keterbatasan yang tidak dapat dilakukan, namun intinya jika ingin menekan biaya lisensi dan memenuhi kebutuhasi virtualisasi standar yang tidak terlalu kompleks menggunakan Proxmox atau Xen merupakan pilihan bijak.

Lalu sebenarnya apa manfaat dari virtualisasi? ini adalah pertanyaan klasik yang sering saya dengar. Sebetulnya ada banyak manfaat dari virtualisasi diantaranya yang lagi hot issue sekarang mengenai global warming. Dengan menggunakan teknologi virtualisasi kita dapat melakukan penghematan listrik sehingga beban listrik menjadi sedikit. Dampak tersebut mengakibatkan biaya listrik dapat ditekan hingga seminimal mungkin. Kemudian masalah utilisasi server. Pernahkan Anda lihat utilisasi server-server di kantor Anda? langkah mudahnya adalah menggunakan task manager. Lihat pada bagaian CPU, Nemory dan Network. Apakah utilisasinya sudah di atas dari 80% dan terus naik? atau bahkan hanya 20% saja? sisanya nganggur gur.. hehe. Keadaan yang seperti ini membuang banyak resources yang seharusnya dapat digunakan untuk kebutuhan dan fungsi lainnya. Sayang kan?

Kemudian ada juga mitos-mitos yang menganggap bahwa teknologi virtualisasi tidak akan sama performanya dengan physical server yang langsung diinstal hanya untuk satu sistem operasi tertentu. Mitos ini ada benar dan ada juga salahnya. Kenapa begitu? logika saja jika server Xeon 3Gig dengan RAM 8Gig dipaksa menjalankan multiple operating system dengan konfigurasi 3 server yang masing-masing di-assign RAM 3Gig. Ya pasti collapse lah. Atau existing physical server dengan spek Xeon 3Gig RAM 4Gig di-convert menjadi virtual di-assign Proc 2Gig RAM 2Gig. Ya pasti sekarat tuh VM (Virtual machine). Oleh karena itu sungguh sangat penting yang namanya early planning sebelum memutuskan untuk melakukan  migrasi server physical ke virtual. Jangan sampai justru terjadi degradasi performa setelah melakukan konversi.

Berikut beberapa tips melakukan migrasi dari physical server ke virtualization environment.

1. Sebelum memutuskan migrasi, lihat utilisasi server. Apabila utilisasi CPU hanya 30-40% full load, itu saatnya Anda mulai berfikir untuk melakukan migrasi ke virtualisasi

2. Buat pembagian resource VM dalam sebuah Virtualisasi server sesuai dengan spesifikasi awalnya (physical version)

3. Tentukan jenis software virtualisasi yang akan digunakan dan sesuaikan dengan perencanaan ke depan (misal: perlu cluster, load balance, fault tolerance)

4. Pikirkan juga masalah lisensi dan subscription. Kadang layanan aftersales sangat dibutuhkan ketika kita mendapati masalah urgent yang harus segera diselesaikan

5. Siapkan skema pendukung dan aksesosrisnya. Rancang kebutuhan peripheral tambahan, misal jika ingin menggunakan fitur clustering menggunakan fibre channel/SAN/NAS, menggunakan iSCSI atau NFS dengan Gigabit Ethernet card dan cable, Multiple NIC untuk fitur Teaming, dll

6. Nah kalau sudah komplit semuanya susun rapih dalam bentuk proposal dan ajukan ke atasan Anda. Sertakan juga pros dan cons menggunakan teknologi virtualisasi supaya bobotnya seimbang jadi tidak berkesan kita bersikukuh ingin mengimplemnetasikan project tersebut.

Okay, selamat bervirtualisasi!